Apakah Tuhan Kekurangan Cairan atau Panas Dalam?
Sumber Foto www.baliphotographyguide.com |
Mudah didapat itu sudah pasti karena setip warung pasti menjual jenis minuman kaleng seperti itu dan harganya juga terjangkau dan nanti lungusurannya juga bisa diminum untuk diri sendiri dan keluarga. Untuk berhemat dan juga praktis disini maksudnya adalah, minuman kaleng itu dengan sangat mudah untuk ditumpuk dan ditata dengan bahan lainnya, mungkin juga bisa hemat karena dengan memakai minuman kaleng bisa mengurangi pemakaian buah yang mungkin harganya lebih mahal. Untuk seni ini maksudnya adalah untuk tampil beda dimana sesuatu yang beda pasti akan mengundang perhatian dan itu juga bisa bilang seni jika menurut orang lain itu bagus maka kemungkinan akan ditiru akan banyak dan jika menurut orang itu jelek atau tidak pantas maka hal itu tidak akan muncul dan tidak ada yang akan meniru dan sampai saat ini banyak orang yang ikut memakai minuman kaleng maka bisa dianggap terobosan itu berhasil.
Zaman sekarang kebanyakan manusia bekerja sebagai karyawan kantoran termasuk juga kaum Ibu-ibu yang seharusnya punya pekerjaan untuk mempersiapkan sarana upacara Agama. Mereka sudah kekurangan waktu untuk mempersiapkan semua itu jika semua harus disiapkan dari hasil membuat sendiri. Misalnya untuk kue atau sarana banten seperti jaje uli, jaje gina, jaje apem, aje kaliadrem dan jaje yang lainnya. Mereka lebih banyak membeli dari pada membuat sendiri, alasannya mungkin karena tidak ada waktu, selain itu juga untuk hemat biaya karena untuk membuat kue atau jaje itu juga perlu biaya yang banyak, apa lagi kebutuhannya hanya sedikit jadi mubasir kalau harus membuat sendiri, lebih baik membeli saja.
Kembali ke masalah memakai minuman kaleng, Tuhan dengan segala manifestasinya, sesungguhnya tak perlu “makan” buah-buahan dan minuman. Tuhan tentu tak pernah sakit “panas dalam” atau kekurangan "cairan" jadi tak membutuhkan minuman larutan atau ion dalam kaleng. Kitalah yang mempersembahkan semua itu yang nantinya kita sendiri yang akan menikmati. Kita yang menerima lungsuran atau prasadamnya. Apa yang kita makan sesungguhnya adalah hasil dari persembahan itu.
Kitab Bhagawad Gita percakapan IV sloka 31 berbunyi: Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama. Terjemahan bebasnya: Mereka yang memakan sisa makanan suci yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Brahman yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan (yadnya), apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.
Bagaimana pun sepanjang kita mampu membuat persembahan, buatlah itu dengan makanan yang akan bisa kita ambil lungsurannya. Jangan mempersembahkan sesuatu yang tak bisa kita lungsur. Kita membuat jajan asal-asalan, kita usung ke pura, usai persembahyangan jajan itu kita buang karena memang sudah basi, kotor dan tak layak makan. Adapun soal memakai minuman kaleng, jika diperdebatkan dari sisi “rasa” dan “kearifan lokal” atau “tradisi budaya” itu bisa jadi debat kusir yang tak akan pernah selesai, sekarang kita serahkan kepada pribadi masing-masing jika menurut mereka itu bagus dan tidak menentang mungkin akan terus berlanjut sampai generasi berikutnya. Kecuali jika ada larangan dari PHDI atau dari mana atau awig-awig lokal yang melarang memakai bahan Gebogan selain dari baham alami misalnya buah mungkin memakai minuman kaleng sebagai bahan Gebogan akan punah.
Posting Komentar untuk "Apakah Tuhan Kekurangan Cairan atau Panas Dalam?"
Silakan berikan komentar Anda dengan baik, silakan gunakan Bahasa Indonesia dengan baik supaya mudah dibaca oleh pengunjung lain, Jangan ada Spam dan link aktif. Terimakasih